Berbagai cara dilakukan orang untuk mengekspresikan diri untuk merefleksikan keindahan alam sekitar. Seperti yang dilakukan komunitas penyair dari berbagai latar belakang profesi yang menumpahkannya dalam bait-bait puisi.
Hujan lebat yang mengguyur Gorontalo siang itu baru saja reda, namun sisa mendung masih bergelantungan di langit, disertai kabut tebal di sana-sini.
Meski demikian, pemandangan dari Masjid Walima Emas, di atas bukit Desa Bubohu, Kabupaten Gorontalo, tetap saja indah, dengan hamparan samudera lepas di bawahnya, bertaburkan perahu-perahu kecil nelayan.
Di lantai dua masjid yang langsung beratapkan langit, sejumlah lelaki berdiri terpaku. Angin laut berhembus memainkan anak rambut mereka. Buku dan sehelai kertas pun dikeluarkan, dan beberapa di antaranya mulai menulis puisi.
Mereka adalah para pekerja puisi Gorontalo yang datang dari berbagai latar belakang, mulai mahasiswa, wartawan, aktivis sosial, hingga pekerja di sektor usaha bisnis material bahan bangunan.
Meski belum satu bulan bertemu dan saling mengenal, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi menulis puisi bersama dalam sebuah perhelatan yang bertajuk “Piknik Para Penyair”.
Ide ini muncul setelah mereka menggelar “copy darat” beberapa waktu lalu. Maklum, sebelum bertemu fisik, mereka hanya saling menyapa lewat karya puisi masing-masing yang dipublikasikan di dunia maya, entah itu blog, jejaring sosial facebook, maupun twitter.
“Kami coba mengadopsi dari kecenderungan komunitas lain, seperti halnya fotografer atau pelukis yang yang berkumpul bersama-sama dalam satu objek. Ini eksperimen,” kata Arther Panther Olii, salah seorang penyair.
Letak perbedaannya hanya pada soal media yang digunakan. Pelukis menggunakan kuas dan kanvas, dan fotografer menggunakan kamera foto untuk membidik setiap sudut objek. Sedang penyair cukup menggunakan kertas dan pena, bahkan ada yang menggunakan fasilitas catatan eletronik yang tersedia dalam ponselnya.
Dengan media ala kadarnya itu, mereka mencoba menangkap kata dan membariskannya jadi puisi. Namun semuanya berpulang dari kecenderungan masing-masing penyair. Sebab ada yang tidak bisa menulis puisi hanya dalam waktu sekali jadi, begitupun sebaliknya.
“Itu sebabnya, kami tidak bisa memaksakan satu sama lain untuk langsung memperlihatkan puisinya, masing-masing butuh ruang dan waktu. Namun suatu saat, kami akan merilis bersama puisi yang kami tulis dengan objek Masjid Wlima Emas berikut pemandangannya ini,” ujar pria yang mengaku belajar menulis puisi secara otodidak ini.
Masjid Walima Emas, di Desa Bubohu, yang dikenal sebagai kawasan wisata religius, sengaja dipilih sekelompok penyair muda ini sebagai objek yang menurut mereka cukup puitis untuk dikunjungi.Pendirinya, Yosef Tahir Makruf, adalah tokoh desa setempat yang dikenal cukup `gila` karena membangun masjid di atas bukit, yang praktis jauh dari permukiman penduduk.
Di masjid yang didirikan sejak 2008 dan belum rampung pengerjaannya itu, juga didirikan sebuah bangunan cukup aneh. Bangunan itu dinamakan Yosef sebagai kalender hijriah terbesar di dunia, terbentuk dari balok-balok semen berderet tujuh.
Penanggalan hari ditandai dengan sebuah bendera yang dipasang silih berganti, dipindahkan dari satu balok ke balok lain, sesuai dengan hari yang berganti.
Dihadapkan pada objek wisata berpanorama indah ini, masing-masing penyair mengaku menangkap kesan yang bisa saja berbeda satu sama lain.“Meski dihadapkan pada obyek yang sama, namun karya yang akan dihasilkan bisa jadi sama sekali berbeda, tergantung pada kedalaman pengalaman batin dan pilihan estetika masing-masing penyair,” ujar Syamsuddin R Ishak, penyair muda lainnya, yang masih berstatus mahasiswa Bahasa Inggris di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) ini.
Ajang “Piknik Para Penyair” ini diharapkannya bisa menjadi pijakan bersama para penyair di Gorontalo, untuk saling menyapa, serta memberi apresiasi atas karya masing-masing.
Menurut dia, kini sudah saatnya sastra, khususnya puisi bangkit di Gorontalo, yang selama ini terkesan lebih hiruk-pikuk dengan hal-hal yang berbau politis, terlebih memasuki masa pemilihan gubernur seperti saat ini.
“Kami berharap puisi bisa menjadi penyeimbang kehidupan bagi masyarakat Gorontalo, doakan saja, dalam waktu dekat kami akan membuat buku antologi puisi bersama yang bercerita tentang segala aspek Gorontalo,” ujarnya. (ant/hms) -matanews.com-
0 komentar:
Posting Komentar