Bagi para petualang yang sudah pernah mendatangi kawasan Bunaken, dapat dipastikan akan berdecak kagum. Bahkan bukan itu saja, pengunjung juga akan berucap syukur pada Tuhan, atas keindahan ciptannya.
Seiring perjalanan waktu, kini ada objek wisata yang tidak kalah ramai dikunjungi wisatawan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Makam Kyai Modjo kini mulai dijadikan tempat wisata religius yang juga jadi andalan Sulut.Dalam buku sejarah Indonesia, sosok KH Muhammad Khalifah Modjo memiliki andil besar pada perjuangan Pangeran Diponegoro (1825-1830), dan akhirnya dibuang pemerintahan kolonial Belanda ke Manado.
Sebagai penasehat Spiritual Diponegoro, Ia mampu menyebarluaskan ajaran Islam di daerah berpenduduk mayoritas beragama Kristiani di Sulawesi Utara (Sulut), ketika menjalani masa pembuangan kolonial Belanda.
Kyai Modjo akhirnya wafat di Tondano, ibukota Kabupaten Minahasa, pada tahun 1848, serta memiliki keturunan cukup banyak di daerah itu, sehingga dinamakan Kampung Jawa Tondano (Jaton).
Makam Kyai Modjo sangat dekat dengan Kota Tondano, yakni hanya 4 Kilometer (Km) dari pusat kota tersebut, yang memiliki banyak keunikan dan seni yang melekat.
Tidak salah jika makam tersebut kemudian menjadi salah satu objek wisata terbaik di daerah itu, karena banyaknya wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan domestik yang berkunjung ke obyek wisata tersebut.Kepopuleran makam ini karena memilikli arsitektur Jawa, yang jarang ditemui di daerah itu. Bahkan ajaran-ajaran Islam sangat melekat pada bentuk Makam, yang terus dipugar oleh keturunan Kyai Modjo di Tondano.
Bahkan ajaran-ajaran Islam sangat melekat pada bentuk Makam, yang terus dipugar oleh keturunan Kyai Modjo di Tondano.
Selain itu, Kampung Jaton yang mayoritas beragama Muslim terus berdiri tegap dikelilingi warga Kristen Minahasa dalam suasana damai, sehingga toleransi antar umat beragama seperti itu, jarang ditemui di tempat-tempat lain.
Salah satu objek pendukung Makam Kyai Modjo di Tondano, yakni Mesjid Al-falah Kyai Mojo, yang dibangun pada tahun 1854 yang sempat mengalami renovasi beberapa kali pada tahun 1974, 1981 dan 1994.
Mesjid itu memiliki banyak keunikan dengan gaya arsitektur mirip Mesjid Agung Demak, Jogyakarta, dengan empat sokoguru, masing-masing 18 meter kayu asli. Terdapat juga mimbar bertuliskan ayat-ayat suci Al Qu’ran tulisan Kyai Modjo disertai Hadits Nabi Muhammad SAW di ruangannya.
Dalam sejarah tersebut, Kyai Modjo harus bertahan di Sulut bersama 63 pejuang dari Jogyakarta yang dibuang kolonial Belanda, sementara Pangeran Diponegoro sendiri dibuang ke Makasar dan wafat di daerah itu.
Pada tahun 1831 Kyai Modjo bersama beberapa pejuang sepakat membentuk desa kecil, dengan kepala desa pertama adalah KH Muhamad Gazhali Modjo, dan terus berkembang menjadi satu pemukiman.
Seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya mulai tercipta keakraban antara para pejuang itu dengan penduduk asli Minahasa, sehingga tercipta perkawinan dengan beberapa wanita setempat.
Penduduk setempat memiliki marga (fam, dialek Minahasa) Tombokan, Karinda, Supit, Sahelangi, Rondonuwu, Ratulangi, Tumbelaka, Malonda, Tombuku, Rumbajan dan Kotabunan.
Kyai Modjo banyak mendidik beberapa pejuang yang masih tinggal di Minahasa, dengan cara mengajarkan budaya toleransi dan saling menghormati masyarakat lain, baik berbeda suku, agama dan ras.
Upaya Kyai Modjo menyejukkan hati warganya terus bertahan hingga saat ini, dimana toleransi antar umat beragama terus terpelihara baik.
Konflik horizontal dibeberapa daerah, seperti Ambon, Ternate, Poso hingga Mindanao Selatan (Filipina), tidak pernah ditanggapi masyarakat di Jaton maupun di Kota Tondano secara keseluruhan.
Kerukunan antar umat beragama itu kini dijadikan pemerintah untuk tetap memelihara makam dan bangunan di sekitarnya sebagai peninggalan budaya yang harus dipelihara, dan juga sebagai tujuan wisata.(hms) -matanews.com-
0 komentar:
Posting Komentar