Rabu, 17 November 2010

Danau Toba Dulu Dan Kini

Danau Toba menyimpan sejuta pesona dan keindahan. Hamparan birunya air bak lautan lepas seolah menyihir dan melambai sebagai isyarat untuk selalu dan selalu datang dan datang kembali ke Danau Toba.
Tak pernah ada pikiran singgah di Danau Toba ketika Annette Horschmann, seorang gadis Jerman, saat merencanakan liburan panjang berkeliling dunia setelah tamat sarjana hukum di kotanya, Koln, Jerman.
Kala itu, pertengahan tahun 1993, ia berencana melakukan perjalanan wisata ke India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, kemudian ke Selandia Baru dan diakhiri di Amerika Serikat.
Namun ketika berada di Bali, saya seolah mendengar suara yang memanggil untuk berkunjung ke Danau Toba. Padahal saya baru mendengar nama itu setelah beberapa hari tinggal Bali, pada awal tur dunia saya,” katanya mengenang.
Suara “panggilan” itu berdengung berkali-kali, sehingga Bu Anne, panggilannya saat ini, berupaya mengumpulkan berbagai informasi terkait Danau Toba. Setelah dirasa cukup menarik untuk dikunjungi, maka ia pun memulai perjalanan.
Ia memilih perjalanan darat dari Bali menuju Danau Toba, Sumatera Utara. Sempat singgah di Yogyakarta, kemudian di Jakarta dan Bukit Tinggi.
Di Bukit Tinggi ada seorang pemandu wisata yang mengatakan kepada saya bahwa saya akan menemukan jodoh di Indonesia. Saat itu saya katakan, tidak mungkin,” katanya pekan lalu, ketika ditemui di restoran miliknya, Tabo, di Tuktuk, Samosir, Sumatera Utara.
Sebab, katanya, dari sisi tinggi badan yang mencapai 170 cm, tidak akan cocok dengan pemuda Indonesia yang umumnya jauh lebih pendek dari dirinya. Dan ia pun tak hirau dengan kata-kata pemandu wisata tersebut.
Perjalanan dilanjutkan hingga ke Danau Toba. “Dan wah … alamnya begitu indah, danau biru yang sangat luas, begitu mempesona … terasa ada ketenangan jiwa ketika memandangi danau dan menghirup udara segar pantai,” katanya menggambarkan kesan pertama berada di Tuktuk, Samosir, sebuah kawasan wisata di Pulau Samosir, berseberangan dengan Parapat.
Ketika itu, katanya, ia sudah memiliki perasaan akan lama tinggal di daerah itu, karena merasa betah dengan kondisi alamnya. Namun, kembali ia tak menghiraukannya.
Setelah beberapa minggu tinggal di Tuktuk, visa kunjungan wisata habis, maka Annette keluar dari Indonesia, dan terbang ke Penang, Malaysia.
Selama seminggu di Penang saya tidak sehat. Badan terasa sakit, tak ada gairah untuk bergerak maupun jalan-jalan, maunya tidur,” katanya dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.
Setelah mengurus visa, lalu ia memutuskan kembali ke Danau Toba, dan ternyata penyakitnya sembuh, hidupnya bergairah kembali. “Rupanya ada kerinduan ke Danau Toba, dan itu kemudian terobati,” katanya, sambil tersenyum.
Sebelumnya ia sudah berkenalan dengan seorang pemandu wisata di Tuktuk, Antonius Silalahi. Pemuda ini lalu mengajaknya bekerjasama untuk menjalankan bisnis di bidang pariwisata.
Setelah saya pikir-pikir, kenapa tidak dicoba? Lalu saya terima ajakannya, karena saat itu saya melihat wisatawan mancanegara memadati setiap sudut Tuktuk. Saya pikir ini peluang,” katanya.
Pada periode itu, terjadi lonjakan kunjungan wisatawan mancanegara ke Sumatera Utara dari sekitar 200.000 orang pada 1993 menjadi 265.000 orang pada 1994.
Puncaknya pada tahun 1995 sebesar 300.000 orang, kemudian turun drastis pascakrisis ekonomi di Asia tahun 1997 yang diikuti jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, menjadi sekitar 90.000 orang pada 1999.
Pada 2010, kunjungan wisatawan asing belum pulih seperti era 90-an. Lalu mereka sepakat mendirikan restoran “vegetarian” pada awal 1994. Silalahi menyediakan lahan dan Annette dengan sisa uang yang dimiliki membangun fisik dan peralatan yang diperlukan.
Pilihan restoran vegetarian rupanya cukup tepat. Sejak dibuka, restoran itu banyak pelanggan, terutama dari kalangan tua, karena pada saat itu sedang “tren” dan banyak wisatawan kakek dan nenek dari Eropa memilih berlibur ke Asia untuk melewati musim dingin.
Annette menjelaskan, para orang tua itu memilih berlibur ke Indonesia karena lebih murah dibanding biaya hidup tinggal di rumahnya di Eropa selama musim dingin, yang didukung oleh adanya sejumlah penerbangan langsung dari Eropa ke Indonesia, termasuk ke Medan.
Usaha restoran berkembang pesat, lalu mereka kemudian memperluas usaha dengan menyediakan roti. Mereka menjalankan bisnis ini secara profesional, walaupun di antara keduanya juga telah terjalin hubungan cinta.
Bagi orang Batak, hubungan cinta tidak bisa dilakukan secara terselubung, maka mereka mengesahkan hubungan mereka dengan pernikahan menurut adat Batak pada pertengahan tahun 1994.
Untuk memenuhi adat, sebelumnya Annette diangkat menjadi orang Batak dan diberi marga Siallagan, dan namanya menjadi Annette boru Siallagan.
Walaupun kurang setuju, pihak kerabat dan kedua orang tua Annette bisa menerima keputusan putrinya, dan mereka datang dari Jerman menghadiri pesta pernikahan Annette dan Antonius Silalahi.
Sementara itu dari pihak pengantin pria, keluarga Silalahi, sangat bangga karena memiliki menantu orang asing.
Setelah beberapa bulan menikah, saya baru teringat dengan pemandu wisata di Bukit Tinggi itu. Dan apa yang ia katakan sekarang menjadi kenyataan, saya mendapat jodoh orang Batak. Haa… haa… haa..,” katanya terbahak.
Hingga kini, keluarga Silalahi-Annette dikaruniai dua putra dan seorang putri. Putra pertama Marco (15) kini sekolah SMA kelas I di Medan, yang kedua Julia, putri berusia 13 tahun sekolah SMP kelas II di Pangururan, dan si bungsu Hotto (11) SD kelas VI tinggal bersama mereka di Tuktuk.
Bagi Annette, sudah happy hidup di Danau Toba. “Bagi saya Danau Toba merupakan true love, cinta sejati,” katanya.
Hidup dan masa depan saya ada di sini. Keluarga saya ada di sini. Saya hidup bahagia bersama suami dan anak-anak,” jawabnya, ketika ditanya apakah ada keinginan untuk kembali ke Jerman suatu saat kelak.
Nunga hudapot di son ngolukku,” katanya dalam bahasa Batak yang fasih, yang berarti, ia sudah menemukan tujuan hidupnya di Tuktuk.
Surga
Bagi Annette, Danau Toba adalah surga. “Cuaca yang tidak panas dan tidak dingin, cocok untuk menikmati hidup, terutama bagi orang yang tua,” katanya.
Oleh karena itu, katanya, walaupun kunjungan wisatawan asing ke Danau Toba anjlok tajam sejak tahun 1995, ada saja kelompok orang tua dari Eropa dan Amerika yang menginap di cottages miliknya. (ant/bs/hms)
Sumber : matanews.com

Dapatkan info lain mengenai biro perjalanan wisata & paket wisata murah serta info lainnya di ster1.karir.com/.

0 komentar:

Posting Komentar